Sports Arena – Dunia tenis profesional dikejutkan oleh pengakuan Iga Swiatek yang mendapat hasil tes positif doping. Pada tahun ini pula, tunggal putra nomor satu dunia, Jannik Sinner, mengalami kasus serupa.
Iga Swiatek bercerita tentang momen buruk yang dialami dalam rentang Agustus hingga akhir Oktober. Swiatek melakukan tes antidoping di luar kompetisi pada 12 Agustus, 10 hari setelah tampil di Olimpiade Paris 2024 dan menjelang WTA 1000 Cincinnati pada 13-19 Agustus.
Tes menunjukkan, terdapat zat doping dalam jumlah rendah dalam urine Swiatek, yaitu trimetazidine (TMZ). Melalui video yang diunggahnya di Instagram, Kamis (28/11), Swiatek menjelaskan bahwa dia tak tahu zat itu ada di dalam tubuhnya.
Berita Terkini:
- LeBron Hanya Bukukan 10 Angka, Lakers Dihajar Timberwolves
- Debut Apik Ruud van Nistelrooy, Leicester City Kalahkan West Ham
- Peran Baru Greysia Polii Demi Tingkatkan Percepatan Prestasi Bulutangkis
”Rupanya, zat itu mengontaminasi melatonin, obat yang biasa saya gunakan untuk mengatasi jetlag dan sulit tidur karena saya harus sering melakukan perjalanan internasional,” kata Swiatek dalam video berdurasi 6 menit 44 detik itu.
TMZ adalah zat yang biasanya digunakan untuk pengobatan nyeri pada dada akibat jantung koroner untuk menambah efisiensi aliran darah dan meningkatkan daya tahan. Kedua faktor tersebut krusial dalam meningkatkan performa atlet profesional dan masuk dalam daftar zat terlarang Badan Antidoping Dunia (WADA). Zat yang sama digunakan oleh 23 perenang Olimpiade dari China. Badan Integritas Tenis Internasional (ITIA) menyebut, Swiatek mendaftar 14 obat atau suplemen yang dia konsumsi, tetapi tidak ada melatonin.
Atas pelanggaran itu, petenis ranking kedua dunia tersebut mendapat hukuman skors sebulan yang bisa ditunda. Hukuman tersebut diumumkan setelah dia disingkirkan Jessica Pegula pada perempat final Grand Slam Amerika Serikat Terbuka di New York.
”Pemain tersebut untuk sementara diskors dari 12 September hingga 4 Oktober, melewatkan tiga turnamen (yang masuk ke dalam sanksi), dan menyisakan delapan hari tersisa,” kata ITIA dalam sebuah pernyataan. Selain itu, hadiah yang diterima dari WTA 1000 Cincinnati, saat mencapai semifinal, dibatalkan.
Sanksi tersebut membuat Swiatek absen dalam rangkaian turnamen di Asia, di antaranya WTA 1000 Beijing, 25 September-6 Oktober, lalu WTA 1000 Wuhan pada pekan berikutnya. Pada saat itu, apa yang menimpa petenis Polandia tersebut tidak dipublikasikan.
Skors Swiatek akhirnya dicabut pada 4 Oktober setelah dia memberikan sampel melatonin pada Laboratorium Tes dan Penelitian Pengobatan Olahraga (SMRTL), yang berakreditasi WADA, di Salt Lake City, AS. Swiatek dinilai tak sengaja mengonsumsi TMZ dan jumlahnya sangat kecil. Dia pun bertanding kembali pada turnamen Final WTA di Arab Saudi pada 2-9 November, lalu Piala Billie Jean King di Spanyol, 14-20 November.
”Dalam 2,5 bulan terakhir, saya mengikuti prosedur ITIA yang ketat. Itu adalah momen terburuk dalam karier. Saya dan tim harus menghadapi situasi yang membuat stres dan cemas. Pada akhirnya, saya bisa membuktikan bahwa zat itu hanya ada sedikit dalam tubuh saya, zat yang belum pernah saya dengar sebelumnya. Sekarang, saya bisa menjelaskan semuanya dengan hati-hati dan kembali ke lapangan, tempat yang saya cintai,” tutur Swiatek.
Swiatek menjadi nama besar kedua yang terjerat doping di dunia tenis pada 2024. Sinner mendapat hasil tes positif dua kali pada Maret karena anabolic steroid.
Namun, seperti Swiatek, kasus doping atlet Italia yang akhirnya menjadi petenis nomor satu dunia sejak 10 Juni tersebut baru dibuka beberapa bulan kemudian, yaitu Agustus menjelang AS Terbuka. Kedua kasus juga memiliki kesamaan, yaitu dipublikasikan setelah ada penyelesaian.
ITIA menerima penjelasan Sinner bahwa anabolic steroid ada pada tubuhnya bukan karena kesengajaan. Zat itu ada pada krim pijat yang diberikan salah satu anggota timnya dan dalam jumlah kecil. Sinner pun tak menerima sanksi.
Kritik pun disampaikan banyak petenis putra karena Sinner dinilai mendapat keistimewaan. Dia bisa tetap tampil pada dua turnamen besar selama Maret, yaitu ATP Masters 1000 Indian Wells dan Miami, bahkan menjadi juara di Miami.
Perlakuan yang diterima Swiatek dan Sinner itu pun memunculkan reaksi berbeda dari penggemar tenis dan petenis lain. Banyak yang mendukung mereka untuk tetap fokus pada karier, ada pula yang kecewa karena keduanya mendapat keistimewaan sebagai petenis bintang. Swiatek merupakan pemilik lima gelar juara Grand Slam dan mantan petenis nomor satu dunia dan sebagai pemain tunggal putra terbaik pada 2024 dengan delapan gelar juara, termasuk gelar Grand slam Australia dan AS Terbuka.
Sanksi yang begitu ringan untuk mereka berbeda dengan yang dialami Simona Halep, tunggal putri dengan dua gelar Grand Slam dan petenis nomor satu dunia pada 2017. Pada 2022, dia mendapat hasil positif doping untuk zat Roxadustat yang bisa meningkatkan produksi sel darah merah. Halep menjelaskan bahwa zat itu mengontaminasi suplemennya.
Setelah melalui proses panjang, Halep mendapat skors empat tahun pada 12 September 2023 yang berlaku sejak 6 Oktober 2022, ketika untuk pertama kali mendapat hasil positif doping. Lalu, pada Maret 2024, banding pada Pengadilan Arbitrase Olahraga (CAS) membuat skors Halep berkurang menjadi 9 bulan.
Halep kembali ke turnamen untuk pertama kali sejak bermain pada ganda putri WTA 250 Birmingham, Juni 2022; di WTA 1000 Miami, Maret 2024. Setelah itu, dia menjalani tiga turnamen kecil, yakni pada Mei, September, dan November.
Saat kasus Swiatek terkuak, juara Perancis Terbuka 2018 dan Wimbledon 2019 itu kembali mengungkapkan perasaannya melalui tulisan di media sosial. Halep mengatakan bahwa dia kehilangan dua tahun kariernya karena ketidakadilan.
”Namun, saya menerima banyak dukungan dan cinta tak bersyarat dari banyak orang. Mungkin, ini menjadi kemenangan terbesar saya,” kata Halep.
Petenis lain yang menerima skors panjang atas doping yaitu Maria Sharapova. Dia mengonsumsi zat meldonium tanpa tahu bahwa itu termasuk zat doping sejak 1 Januari 2016. Sharapova mendapat skors dua tahun yang turun menjadi 15 bulan setelah banding.
Martina Hingis menjalani skors dua tahun sejak 1 Oktober 2007 karena zat benzoylecgonine, substansi yang terkait dengan kokain. Hingis merupakan tunggal putri nomor satu dunia pada 1997 dan memiliki lima gelar Grand Slam yang diraih pada rentang 1997-1999.
Dapatkan sejumlah berita terkini setiap harinya hanya di Sports Arena, dan jangan lupa follow sejumlah akun media sosial kami; Instagram, Twitter dan TikTok.